prolog
Aku mencintainya, yah sangat mencintainya. Namun aku hanya bisa diam dan hanya mampu memandangnya dari kejauhan. Aku tak mampu berucap meski hanya sepatah katapun kepadanya. Sampai dia pergi dan benar-benar hilang. Aku tak tau harus mencarinya dimana. Aku merindukannya. Sekian lama hingga detik ini. Aku berjanji jika aku bertemu dengannya lagi kali ini, aku akan memperjuangkan perasaanku ini sampai akhir. Sampai aku mendapatkan cintanya atau sampai dia sendiri yang memintaku untuk menghilang dari hadapannya.
Suasana kota Denpasar begitu tertib di pagi hari. Bangunan Pura yang unik menghiasi ketenangan kota. Bangunan bangunan yang tidak lebih tinggi dari pohon besar membuat kota ini terlihat semakin unik. Kota yang sangat berbanding terbalik dengan ibukota ini menyimpan banyak cerita sejarah di dalamnya. Akhirnya aku menginjakkan kakiku kembali di sini setelah sekian lama. Sebelumnya, aku pernah ke kota ini saat kuliah dulu. Waktu itu aku ke sini bersama dengan teman-temanku sekelas. Sebagai mahasiswi yang baru pertama kali menginjakan kaki di kota ini, aku merasa takjub dengan suasana di kota ini. Dan saat itu aku berjanji pada kota ini, saat bus yang aku tumpangi keluar dari perbatasan kota, aku berjanji aku akan kembali lagi kesini. Dan akhirnya Aku mengijakkan kakiku kembali di sini, dalam suasana yang berbeda. Sekarang aku sudah bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan aku dipindahtugaskan disini. Aku merasa berjodoh dengan kota ini. Kota yang membuat aku benar-benar penasaran ingin mengetahui banyak rahasia didalam kota ini.
Ini hari pertamaku bekerja di sini. Aku merasa takut. Aku takut aku tidak bisa beradaptasi dengan orang-orang di kota ini yang notabennya adalah beragama hindu sedangkan aku sendiri seorang muslimah. Kumasuki bangunan kantorku dengan langkah ragu. gedung yang hanya bertingkat dua dengan gapura khas bali di depannya ini terlihat sangat tenang. Kuhampiri meja resepsionis untuk bertanya dimana ruangan kepala dinas di sini. Ternyata sang resepsionis sangat baik. Dia tersenyum ramah padaku dan menunjukkan dimana ruangan kepala dinas yang ingin ketemui. Aku mengucapkan terima kasih kepada sang resepsionis yang baik dan ramah itu. Ku ketuk pintu ruangan yang ada dihadapanku dan muncul suara dari balik pintu itu.
"Silahkan masuk" , ujar suara dari balik pintu yang aku ketuk tadi.
Dengan ragu aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Kudapati seorang lelaki paruh baya sedang duduk sambil menyunggingkan seulas senyuman kepadaku. Dengan ramah dia menyuruhku duduk.
" geg ini yang pindahan dari jakarta yah ?" Ujar bapak kepala dinas dengan logat Bali yang sangat kental.
"iya pak." Jawabku singkat namun dengan ramah.
Setelah aku jawab, bapak kepala dinas ini langsung mengeluarkan handphonenya dan menelpon seseorang.
"Iya, meja yang di dekat meja kamu itu, tolong kamu beresi ya. Nanti kalo sudah beres kamu bilang sama saya ya Made." Pak Putu berbicara dengan seseorang di telpon yang dipanggilnya Made.
Setelah menutup telepon, Bapak kepala dinas ini tersenyum lagi padaku.
"Saya harap geg betah ya di sini. Disini tidak kayak Jakarta yang banyak gedung-gedung pencakar langit. Tradisi di sini masih dipertahankan. Oh iya, geg bisa panggil saya Bapa (baca: bape) Putu." Ujar bapak kepala dinas ini yang baru aku tau namanya adalah Pak Putu.
"Oh iya bapa, bapa bisa panggil saya Ifah." Ujarku sambil tersenyum. Pak Putu pun tersenyum sambil mengulang ngulang namaku.
"Oh,, geg Ifah. Bapa panggil geg Ifah ya." Ujar Pak Putu sambil komat kamit mengulang ulang namaku.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Tiba-tiba muncul seseorang dari balik pintu dan langsung menyapa pak Putu.
" Bapa, mejanya sudah siap." Ujar seseorang ini.
Aku pandangi orang itu. Seperti aku pernah melihat orang itu. Tapi aku lupa dimana aku melihatnya.Wajahnya sangat familiar sekali. Dia menoleh kepadaku dan kemudian tersenyum sambil menyapaku.
"selamat pagi geg." Ujarnya menyapaku sambil tersenyum ramah. Aku hanya tersenyum sambil melihatnya.
"Geg Ifah, ini Made. Made ini salah satu karyawan kebanggaan saya. Masih muda, tapi kerjanya bagus." Ujar Pak Putu bersemangat.
"Saya Ifah." Ujarku singkat sambil menunduk kepadanya.
"oh, geg Ifah bisa panggil saya Bli atau panggil Made saja tidak apa-apa." Made kembali angkat bicara.
"Sudah Made, antarkan geg Ifah ke ruangannya ya. Selamat datang di denpasar geg Ifah dan selamat bekerja di sini. Kalau mau minta tolong, jangan sungkan ya geg."
"Iya pa, permisi dulu ya pa." Aku berangkat dari tempat dudukku dan menundukkan kepala kepadanya. Lalu kuikuti langkah Made untuk mendapatkan ruanganku disini.
********
"Nah geg, ini ruangan kita. Oh iya, ayok kita kenalan dulu sama rekan yang lain." Made terus memberikanku informasi sepanjang jalan menuju ruangan hingga masuk ke dalam ruangan. Bahkan sekarang dia ingin memperkenalkanku dengan rekan-rekan kerja yang lain. Made sungguh lelaki yang ramah dan welcome dengan orang baru. Melihat sikap Made yang seperti ini, aku merasa akan betah di sini. Semoga semua orang di kantor ini seperti Made. Yah, ku harap.
"Nah geg, yang ini geg Kirana namanya. Dia juga asli sini. sama kayak Made." Made memperkenalkanku pada salah satu perempuan dengan tubuh yang jenjang dan rambut ikal yang indah. Wanita yang aku tau namanya adalah Kirana ini terlihat begitu manis apalagi jika tersenyum.
"Nah yang ini mbak Bella. Mbak ini pindahan dari Jakarta juga kayak geg." Made melanjutkan memperkenalkanku pada wanita yang bernama Bella.
"Oh jadi ini yang pindahan dari Jakarta itu. Nggak nunjukin orang jakarta banget lo." Bella berbicara sambil memandang sinis dan angkuh padaku. Aku hanya diam dan kemudian tersenyum hambar tanpa satu patah kata pun. Aku mulai berpikir. Ku rasa, bukan orang Bali yang akan jadi bumerang untukku, tapi justru malah orang dari kotaku sendiri yang akan membuat hari-hariku di kota Denpasar ini tidak mengenakkan.
"Udah geg, jangan di ambil hati yah geg. Emang mbak Bella agak sinis orangnya." Ujar Made berusaha mencairkan pikiranku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk pada Made.
"Nah geg, ini rekan kita satu lagi. Makhluk yang cuek dan yah bisa dilihat beginilah penampilannya kalau ke kantor. Kayak preman pasar Seloka." Ujar Made membicarakan tentang sosok lelaki muscular yang ada di hadapanku. Aku mendengar perkataan Made samar-samar karena lelaki itu sangat mengejutkanku. Jantungku seketika berdetak dua kali lebih cepat dari batas normal melihat sosoknya. Perasaanku teraduk aduk dengan sempurna detik itu juga. Aku kehilangan fokus, akalku sudah melayang entah kemana, dan kekuatanku hilang menjadi gelembung-gelembung udara. Detik itu juga aku ingin berteriak meluapkan segala campur aduk perasaanku itu. Lelaki yang baru dibicarakan Made tadi yang sekarang ada di hadapanku. Dia adalah seseorang yang bertahun-tahun belakangan ini aku rindukan kehadirannya. Seseorang yang berhasil menutup segala pintu di hatiku untuk lelaki lain. Ingin rasanya aku memeluknya detik ini juga untuk meluapkan rasa rindu yang entah sudah berapa lama ku tahan. Tapi kekuatanku yang hilang tidak dapat meraih sosoknya. Aku hanya diam terpaku tanpa bicara sepatah katapun.
"Geg,, geg,, geg kenapa ? tidak enak badan geg ? geg ? " Suara Made samar-samar masuk ke dalam gendang telingaku yang akhirnya berhasil memberi impuls kepada syaraf otakku untuk merespon.
"Ah,, apa Bli ? Nggak kok bli. nggak kenapa napa Bli." Ujarku terbata-bata.
Made menatapku, meneliti. Dan akhirnya dia tersenyum. Kemudian memperkenalkanku pada lelaki itu.
"Nah geg, ini Vino. yah dia ini kalo ke kantor yah dandanannya seperti ini. Tapi dia berbakat geg. Dia mengurusi segala urusan external kantor ini." Ujar Made memperkenalkanku pada lelaki yang aku cari selama ini. Tanpa Made memperkenalkannya pun, aku sudah tau namanya. Bahkan aku tau ulang tahunnya dan segala kebiasaan-kebiasaannya. Yah, tanpa harus Made jelaskan.
"Vino. Lo dari jakarta juga ya ?" Ujar lelaki yang aku tau namanya Vino dari dulu sambil menjulurkan tangannya kepadaku.
Aku diam. Masih tidak percaya. Untungnya, syaraf otakku sudah bekerja dengan benar lagi. Jadi tidak perlu menunggu lama untuk memberikan respon pada tangan yang sedang menawarkan untuk dijabat itu. Tangan yang sejak dulu ingin ku sentuh.
"Ifah. Iya, gue dari jakarta." Ujarku sambil menjabat tangan Vino sambil berusaha sekeras mungkin menyembunyikan kegugupanku. Vino hanya mengangguk dan kemudian sibuk lagi dengan laptop yang ada di hadapannya. Aku menghela nafas. Lelaki ini lebih cuek dari yang aku bayangkan, rupanya.
"Nah geg, disebelah sini meja geg, dan di sini meja Bli." Ujar Made yang akhirnya memanggil dirinya sendiri Bli.
"Oh iya bli, makasih ya bli." Ujarku tersenyum dan kemudian duduk di meja yang Made tunjukkan.
Made tersenyum padaku. Dan kemudian beranjak ke meja kerjanya.
"Oh iya geg, kalo ada apa-apa jangan sungkan minta tolong ya." Made sedikit berbisik dari mejanya yang bersebelahan dengan meja kerjaku. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
Aku merasa Allah sedang menguji hatiku. Menguji janji yang pernah aku ucapkan dulu sebelum aku datang ke kota ini.
**********************************************************************************
geg : panggilan untuk wanita di Bali
bapa : panggilan untuk bapak di Bali
bli : panggilan untuk lelaki Bali
Kamis, 25 Juli 2013
Langganan:
Postingan (Atom)