Aku menoleh ke Putu sambil menunjukkan raut wajah terheran-heran. Kenapa aku disuruh ke ruangan bapa ? Aku merasa tidak ada masalah dan mengerjakan tugasku dengan baik.
"Bli nggak tau geg. Geg ke ruangan bapa aja dulu. Mas Vino juga." Ujar Putu memandang ke arahku sambil tersenyum. Yah, senyumannya itu setidaknya melegakanku. Karena aku yakin bukan karena aku membuat kesalahan, bapa memanggilku ke ruangannya.
Vino yang dari tadi hanya diam sambil sibuk dengan komputer yang ada dihadapannya beranjak. Kemudian menoleh padaku.
"Lo nggak mau ke ruangan sii bapa ?" Ujar Vino dengan muka cueknya yang membuat aku sangat ingin meremas mukanya itu, yah jika saja aku tidak memiliki perasaan ini padanya.
Aku menganguk dan beranjak berdiri dari kursiku. Aku tidak menyangka, keakraban kami kemarin saat makan siang bersama aku kira akan menjadi awal kedekatanku dengannya, tapi ternyata aku salah. Dia, masih saja bersikap cuek dan dingin terhadapku seperti sekarang. Aku diam-diam menghela nafas.
Aku dan Vino berjalan beriringan menuju ruangan bapa yang berada di lantai bawah. Sepanjang jalan itu, kami hanya diam sibuk dalam pikiran masing-masing. Aku juga sedang malas untuk membuka pembicaraan.
Setelah sampai di depan ruangan bapa, baru saja aku akan mengetok pintu ruangan itu, tapi Vino sudah mendahuluinya dan terdengar suara bapa dari dalam menyuruh kami masuk.
"Masuk." Ujar Vino padaku sambil membuka pintu ruangan itu untukku. Aku bingung. Hanya bisa memandanginya kemudian masuk ke dalam dan diikutinya langkahku dari belakang.
"Ayo silahkan duduk anak-anakku." Ujar bapa menyambut kami dengan sangat ramah. Aku mengangguk sambil tersenyum dan duduk di kursi yang sudah di persiapkan bapa.
"Gini geg, Vino, bapa manggil kalian ke sini mau ngasih tugas buat kalian." Ujar bapa masih dengan seulas senyuman ramahnya.
"Tugas bapa ? tugas apa bapa ?" Ujarku setengah malas. Aku lelah dengan kerjaanku yang menumpuk. Ditambah lagi, bapa mau memberikanku tugas lagi.
"Gini, sebentar lagi kan ada acara kesenian se Indonesia nih yang diadain di sini. nah kalian berdua bapa tugaskan buat ke sana sebagai wakil dari kantor kita. Dan tugas kalian di sana, kalian harus melaporkan setiap kegiatan yang dilakukan di sana, mencatat, dan kemudian di masukin di web kita. Bisa kan ?" Bapa bertanya setengah berharap.
Aku menoleh pada Vino. Aku bingung harus menjawab iya atau tidak. Walau sejujurnya aku sangat ingin mengemban tugas ini. Tapi aku masih menunggu jawaban Vino.
"Kapan acaranya bapa ?" Ujar Vino angkat bicara setelah daritadi dia hanya diam.
Bapa tersenyum lebar. "Minggu depan acaranya dimulai. Dan lamanya seminggu." Ujar Bapa menjelaskan masih dengan senyuman yang lebar.
"Oke, gue mau." Hanya jawaban singkat tanpa ekspresi itu yang keluar dari Vino.
Bapa tersenyum riang sambil mengangguk-anggukkan kepala. Seolah benar-benar sudah mengerti sikap Vino yang bagiku itu tidak sopan karena bagaimanapun, bapa adalah atasan kami.
"Dan geg gimana ?" Ujar Bapa menoleh ke arahku.
Aku tersenyum. "Jika ini adalah tugas, maka saya siap untuk menjalankannya dengan senang hati bapa." Ujarku berbicara sesopan mungkin.
Bapa tersenyum kembali dan kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, kalian persiapkan diri ya." Ujar bapa dengan penuh semangat dilanjutkan dengan anggukanku dan juga Vino.
"Vin, kamu lagi ada masalah ya ?" Tanyaku hati-hati pada Vino setelah kami sampai di ruangan dan duduk dimeja kami.
Vino diam. Kemudian menoleh padaku. "Nothing." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya. Aku geram, kesal.
"Tak peduli seberat apapun masalah yang sedang kamu pikirin, setidaknya sama orang yang lebih tua diatas kita, nggak boleh kayak gitu." Ujarku berusaha menahan kekesalanku.
Vino menoleh lagi. Dan kali ini raut wajahnya seperti macan yang siap menerkam mangsanya. Aku takut.
"Lo nggak usah sok tau dan nggak usah sok nasehatin gue deh. Urus aja diri lo sendiri." Ujar Vino dan kemudian beranjak dari meja kerjanya.
Aku diam. Rasanya hatiku berkecamuk. ada kecewa, sedih, dan terluka. Niatku baik. Aku tak ingin orang yang aku sayangi, tidak mengenal apa itu sopan santun.
DI kamar asrama ini, aku masih membayangi ekpresi Vino saat marah denganku tadi. Aku sangat takut tapi ketakutan itu tidak sebesar dengan rasa sedihku. Aku ingin dia berbagi masalahnya denganku. Jauh dilubuk hatiku, aku ingin masalahnya bisa selesai. Karena rasa inginku yang besar itu, aku memberanikan diriku menuju ke kamar Vino dengan membawa dua cangkir coklat hangat yang baru saja aku buat. Aku ketuk pintu kamar yang ada di hadapanku itu. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu dibuka. Vino menatapku sangat dingin.
"Ngapain lo ?" Ujar Vino masih dengan ekpresi yang sangat dingin.
aku menghela nafas. "Boleh masuk nggak?" Ujarku berusaha tersenyum padanya. Vino memandangiku lama. Dan kemudian akhirnya diizinkannya aku masuk.
"Kenapa ?" Vino kembali bertanya pertanyaan itu padaku. Ku taruh secangkir coklat hangat di hadapannya.
"Tadi aku buat coklat hangat ini. Nggak ada salahnya kan berbagi sama tetangga." Ujarku sambil tersenyum ramah padanya.
"Lo mau nyogok gue biar gue nggak marah lagi sama lo ?" Ujar Vino masih dengan ekpresi wajah yang dingin.
Aku menghela nafas. "Kamu itu, kenapa punya pikiran kayak gitu ? Coklat hangat bisa menenangkan pikiran dan setidaknya ngurangin beban yang ada di pikiran. Makanya...." Aku belum sudah berbicara, tapi aku lihat Vino langsung menyeruput coklat hangat itu. "Eh,, awas panas.." Dan belum sudah aku berbicara, Vino sudah terjingkat jingkat sambil memegangi mulutnya yang mungkin hampir saja melepuh karena panas.
Aku tertawa melihat tingkah Vino. "aku belum selesai ngomong loh. main seruput aja." Ujarku masih dengan tawa yang memecah.
Vino memandangiku kesal sambil memegangi mulutnya yang kepanasan. "Kenapa nggak bilang dari tadi sih ??" Aku semakin tertawa terbahak bahak. "Aku baru mau bilang, eh kamunya udah minum aja. yah, mau gimana lagi." Vino menggerang." Ahh,, wanita ini. bener-bener." Ujarnya kesal.
Setelah kejadian Vino yang menyeruput coklat panas, suasana kembali tenang. Aku hanya diam sambil sesekali memandang ke luar jendela kamar Vino dan sambil sesekali mencuri pandang pada Vino yang sedang asyik menikmati coklat panas dengan berjuta pikiran yang ada di otaknya.
"Mama gue kumat lagi." Ujar Vino sangat pelan. Tapi aku mendengar apa yang diucapkannya. Namun aku hanya diam. Menunggu ia berbicara lagi. "Gara-gara adik gue ketabrak dan mati, mama gue jadi stress. Dan kemaren gue dikasih tau dokter mama gue ngamuk lagi." Vino berbicara sangat nanar. "Gue nggak tega ngeliatnya, makanya gue nggak ke rumah sakit."
Aku diam. Seberat itukah masalah Vino. Aku yang dari tadi duduk dihadapannya memberanikan diri beranjak dan duduk disebelahnya. Dan saat itu aku melihat Vino meneteskan air mata dan disaat itu juga aku melihat betapa lemah dan menyedihkannya bad guyku di balik sosoknya yang dingin dan tidak bersahabat. Entah mendapatkan kekuatan dari mana, ku rangkul bahunya yang berlumuran otot itu. Aku sangat terluka melihat Vino seperti ini. Vino menoleh padaku masih dengan air mata yang membasahi pelupuk matanya.
" Boleh gue pinjem bahu lo sebentar ?" Ujar Vino dengan mata nanar.
Aku terkejut. " Uhh ??" tapi akhirnya aku anggukkan juga kepalaku tanda mengiyakan. Setelah aku mengangguk, di sandarkannya kepalanya di bahuku dan tangisnya terpecah, air matanya deras menetes membasahi wajahnya. Dan dengan gerakan reflek, jemariku bergerak mengelus lembut rambutnya. Aku rela dia meminjam bahuku lebih lama lagi, jika itu bisa menghapuskan sedikit rasa sakit dan kesedihannya.
*******************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar