Aku
memandangi lelaki yang sedang ada di hadapanku. Sosok lelaki yang sejak aku masuk
kuliah hingga sekarang terus berada di sampingku. Lelaki yang selalu
melindungiku dan menjagaku dengan penuh kasih sayang. Lelaki yang dingin namun
perhatian, lelaki yang brutal tapi penyayang, lelaki yang tidak suka diatur dan
sangat menghargai makhluk yang bernama wanita.
“Hei, kenapa mandangin aku kayak
gitu ? yah, aku tau kalo aku emang ganteng.” Ujar lelaki di hadapanku itu sambil
tersenyum jahil yang bagiku senyum itu adalah senyum termanis yang pernah aku
tau.
“Nggak kok. Suka aja liat muka kamu.
Lucu.. hhe.” Ujarku balas tersenyum jahil dengannya disambut dengan tangannya
yang mengacak lembut rambutku.
“Eh, aku ada kerjaan. Kamu tunggu
sini yah. Jangan kemana-mana. Awas aja !!” Ujar lelaki itu mengancam sambil
berbalik dan berjalan menjauhiku tanpa berkata mau kemana dia. Tapi inilah
salah satu alasan kenapa aku sangat menyukainya. “Rafidias Abdul Rohman”,
dialah lelaki yang mengancamku itu. Aku mengenalnya sejak awal masuk kuliah.
Dia adalah kakak tingkatku di arsitektur ITB. Sejak awal P2K, sosoknya sangat
menarik perhatianku. Entah karena apa aku tertarik padanya. Tapi karena rasa
tertarik itulah saat ini aku merasa wanita yang beruntung karena memilikinya.
“ emmm,, kamu Gisel kan ?” Tiba-tiba
seseorang mengagetkan lamunanku. Aku sangat mengenal suaranya. Bukan, bukan
suara Rafidias. Lalu, siapa pemilik suara ini ? Suara yang aku kenal hanyalah
suara keluargaku, temanku, rafidias, dan satu orang dari kenangan masa laluku.
Tidak.. apakah itu dia ? orang dari masa lalu itu ? Aku terus menduga-duga,
tapi aku tidak berani untuk menatapnya.
“Kamu masih inget kan suara kakak ?”
Ujar orang itu lagi karena melihat aku yang hanya diam tertunduk.
Aku mengangkat
wajahku dan benar saja kudapati sosoknya. Lelaki yang pernah mengisi hatiku. Dialah
cinta pertamaku.
“eh kak Ihsan , inget kok kak.” Ujarku
dengan senyum yang terpaksa.
“Kamu sendirian aja ? Kakak boleh
duduk sini ?” Ujar Kak Ihsan sambil menunjuk tempat yang ada di sebelahku.
Ingin aku menjawabnya dengan kata tidak secara lantang tapi lidah ini sulit
sekali untuk mengucapkan kata itu. Dan yang lebih menyakitkan aku hanya sanggup
mengganggukkan kepala sambil mengulas senyum simpul.
“Apa kabar kamu Gisel ? Kakak kangen
banget sama kamu.” Ujar lelaki itu tanpa basa-basi. Aku teringat tentang
bagaimana aku mencintainya dulu. Dan seketika itu juga jantungku terpacu untuk
bergetar lebih cepat.
“Baik kak. Kakak apa kabar ?” Tanyaku
masih dengan detak jantung yang kencang dan tak menentu.
“Baik juga Sel. Emm,, kakak tau kamu
satu fakultas sama kakak tapi kakak
nggak punya keberanian buat nyapa kamu. Tapi tadi tiba-tiba aja kakak liat kamu
disini dan kakak langsung ngampirin kamu.” Ujar kak Ihsan dengan tatapan mata
yang masih sama seperti dulu. Tatapan mata yang teduh hangat dan.. membuat aku
nyaman melihat pemiliknya. Percakapan kami berlangsung lama. Kami bercerita
tentang masa-masa SMP dulu. Aku lupa bagaimana kak Ihsan dulu menyakiti hatiku
dan yang lebih parah aku lupa kalau aku memiliki Rafidias sekarang yang entah
kemana tadi dia pergi.
Sejak
pertemuanku dengan kak Ihsan, aku sering sekali berkirim pesan dengannya tanpa
diketahui Rafidias. Lagipula, Rafidias sibuk dengan kegiatan pencinta alamnya
yang sedang melakukan persiapan untuk mengalahkan gunung tangkuban perahu.
Bahkan, aku sering sengaja bertemu dengan kak Ihsan hanya sekedar untuk makan
saja. Aku tak yakin aku masih mencintainya, tapi aku juga tak tau kenapa aku
terus mengharapkan dia berada di dekatku. Aku teringat lagi masa-masa SMP dulu
saat aku mencintai Kak Ihsan, dan itu adalah cinta yang pertama aku alami.
Memori otakku berputar mundur mengingat masa itu.
“ Mel, siapa sih kakak tingkat itu ?
manis banget. “ Ujarku saat pertama kali aku memijakkan kaki di kelas baruku
VII.7.
“Oh, itu kakak tingkat kita Sel. Dia
itu anggota osis loh. Kenapa ? kamu suka yah ? Ujar Amel temanku dengan menatap
jahil ke arahku. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepala. Yah,
sejak saat itu aku yang masih ababil mulai mencari tau semua hal tentangnya.
Dari nama panjangnya, kelasnya, hingga jabatannya di OSIS bahkan aku mencari
tau kesukaannya. Sampai-sampai aku membuntutinya hanya untuk tau dimana
rumahnya. Jika aku melihatnya, aku akan tersenyum salah tingkah tanpa berani
menatapnya Aku juga sering mencuri pandang dengannya jika kami sedang berada
dalam satu ruangan yang sama. Saking aku mencintainya, berada dalam jarak
beberapa meter dengannya mampu membuat kerja jantungku dua kali lebih cepat.
Dan suatu ketika, dia pernah
menyapaku dan tersenyum, rasanya saat itu aku seperti mendapatkan uang
bermiliaran rupiah saking bahagianya. Dan sejak dia menyapaku, aku mulai dekat
dengannya. Kami sering ngobrol bareng di kantin, bahkan kami sering
berteleponan. Saat itu, aku benar-benar merasa cintaku akan terbalas. Namun
ternyata kenyataan tidak sejalan dengan apa yang aku pikirkan. Kak Ihsan meneleponku
pada suatu siang.
“Gisel, lagi ngapain ?” Tanya kak Ihsan
dari sambungan telepon.
Aku tersenyum
mendengar pertanyaan kak Ihsan. “Lagi nonton kak. Kenapa kak ?” Tanyaku pada
kak Ihsan berusaha menahan senyum bahagia yang jelas sangat terpancar di
wajahku.
“Kakak mau minta maaf sama kamu
Sel.” Ujar Kak Ihsan dengan nada menyesal. Aku heran, bingung. Memangnya kak Ihsan
berbuat apa padaku ? “Maaf
kenapa kak ? Aku nggak ngerti kak.” Ujarku pada Kak Ihsan dengan nada bicara
bingung.
“Kakak udah jadian sama Dwi.” Ujar
suara itu dengan nada menyesal yang aku tau nada menyesal itu sangat tulus. Aku
terenyuh mendengar perkataan kak Ihsan barusan. Hatiku seperti tercabik-cabik
entah menjadi berapa bagian. Tapi aku mencoba bertahan. Aku mencoba menutupi
kesedihanku.
“Wah, selamat yah kak.” Ucapku
dengan nada bahagia yang sangat jelas sekali dibuat-buat. “udah dulu yah kak,
mau bantuin ibu dulu.” Setelah itu aku langsung memutuskan sambungan telepon
dan berlari ke kamar. Di dalam kamar,
tembok kekuatanku mulai rapuh dan kemudin hancur. Aku menagis tak tau
harus berbuat apa. Aku marah, kesal tapi aku tidak punya hak untuk itu. Aku
sakit hati, aku kecewa tapi aku juga tidak punya hak untuk menghalangi
kebahagiaan Kak Ihsan, orang yang aku cintai. Karena kedekatan kami tidak
memiliki status. Dia bukan pacarku dan tidak salah jika dia sekarang berpacaran
dengan wanita lain bukan ? Sejak kejadian itu, aku mulai malas datang ke
sekolah. Aku tidak siap melihat mereka tersenyum bersama. Sampai aku tersadar,
jika aku terus begini akan membuat prestasiku menurun dan sungguh kasiannya
kedua orangtuaku yang bekerja siang malam untuk menyekolahkanku sedangkan aku
sibuk dengan perasaan sakit hati yang sama sekali tidak berhak untuk
menghalangi prestasiku. Sejak tersadar itu, aku mulai move on. Aku kembali menjadi gadis yang ceria dan penuh energi, tapi
aku masih tetap tidak ingin melihat apalagi menegur kak Ihsan. Aku mulai membenci
kak Ihsan, kurasa.
Saat kak Ihsan akan lulus, aku juga
masih bersikap sama dengannya. Tak ingin melihatnya dan sengaja menghindar jika
terpaksa harus bertatapan dengannya. Kak Ihsan sering mengejarku, berteriak
memanggilku, atau menatapku dengan penuh harap aku mau memandangnya dan
berbicara dengannya. Hingga kak Ihsan tamat SMP, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi
sampai di kuliah ini, saat dia tiba-tiba menyapaku dan datang kembali mengisi
kehidupanku.
Setiap pagi
aku senang sekali menghirup udara pagi di bawah pohon rindang di depan gedung
jurusanku. Biasanya, setiap pagi Rafidias akan datang menghampiriku sambil
menatapku dengan tatapan hangat. Tapi belakangan ini, dia tidak pernah menghampiriku
lagi. Dia hanya meneleponku sesekali sambil menanyakan kabarku. Katanya dia sedang sibuk persiapan untuk naik ke
gunung tangkuban perahu. Tapi aku tidak
merasa kesepian tanpanya karena setiap aku kesepian kak Ihsan akan datang
menemaniku. Tiba-tiba nada dering panggilan telepon di handphoneku berbunyi. Ku
lihat nama penelepon itu dan ternyata kak Ihsan. Aku langsung mengangkat
telepon.
“Hallo, gisel. Nanti siang kita
makan bareng yah. Ada yang mau kakak omongin sama kamu.” Ujar kak Ihsan dengan
nada bicara yang membuat hati nyaman mendengarnya.
“Oh, iya kak. Kita ketemuan di
kantin biasa kita makan aja yah kak.” Jawabku mengiyakan ajakan kak Ihsan.
“Baiklah,
sampai jumpa nanti siang Gisel.” Ujar kak Ihsan dari telepon kemudian terdengar
nada sambungan terputus dari speaker hapeku.
JJJJJ
Aku berjalan keluar dari kelas
dengan langkah cepat menuju kantin tempat aku dan kak Ihsan sering makan
bersama. Aku yakin kak Ihsan sudah menungguku. Sesampainya di kantin, benar saja.
Kak Ihsan sudah duduk manis di salah satu bangku di kantin itu sambil
menyeruput es jeruk. Aku pun menghampiri kak Ihsan.
“Kak,, maaf yah telat. Maklum.
Dosennya lagi seneng ngejelasin. Jadinya lama deh kak. Hehehhehe...” Ujarku
meminta maaf kepada kak Ihsan.
“Ah, udah nggak apa-apa kok. Kakak
aja kali yang kecepatan. Hha.” Ujar Kak Ihsan dibarengi dengan tawanya yang
memepesona.
“Ngomong-ngomong, kakak mau bicarain
apa yah kak ?” Tanyaku pada kak Ihsan setelah aku memesan minuman kepada
pelayan kantin itu.
“emmm, masalah SMP dulu kakak minta
maaf Sel.” Ujar kak Ihsan sambil menatapku, dalam. Aku terperanjat. Ternyata
kak Ihsan masih merasa bersalah denganku. Padahal aku sudah lupa rasa sakitnya
saat itu karena saking sakitnya. “Udah
kak, aku udah lupa kok kak. Santai aja kak.” Jawabku sambil tersenyum tulus.
Aku tak ingin kak Ihsan dihantui rasa bersalah.
“Kalau begitu, boleh kakak
memperbaiki semuanya ? Kakak mau memulai dari awal lagi sama kamu Gisel.” Ujar
kak Ihsan masih menatapku dalam dan tulus. Aku terkejut. Apa yang di maksud Kak
Ihsan ?
“Kakak mau memulai semuanya lagi
Sel. Kakak ingin melindungimu. Boleh ?” Ujar Kak Ihsan padaku. Seharusnya aku
senang karena cinta pertamaku datang kembali padaku dan mengatakan dia akan
melindungiku. Tapi hal itu tidak terjadi padaku. Tiba-tiba sosok lelaki
jangkung yang dingin sudah ada di samping aku dan kak Ihsan. Aku terkejut.
Rafidias. Aku baru bertemu dengannya sejak dia meninggalkanku sendiri waktu
itu. Dan dia sekarang memergokiku sedang berduaan dengan kak Ihsan. Tidak...
“Kamu mau dia melindungimu Gisel ?
Kalau mau, kamu tinggal jawab aja boleh. Tak usah peduli dengan perasaan orang
lain. Aku yakin, orang lain akan bahagia kalo liat kamu bahagia.” Ujar lelaki
jangkung itu sambil tersenyum dan kemudian pergi meninggalkan aku dan kak
Ihsan. Tidak... apa yang barusan dikatakannya ? Dia bahkan tidak mengakui jika
dia adalah kekasihku. Bahkan dia seolah-olah datang menghampiriku hanya untuk
menjadi penasehat cintaku. Dia terlihat sangat dingin dan yang lebih
menyakitkan, tatapan matanya seolah tidak ada aku di sana. Apa yang terjadi
dengannya ? Dia marah ? Pikiranku benar-benar kalut saat itu.
“Gisel, kok diem ? bolehkah kakak
ngelindungin kamu mulai sekarang ?” Tanya Kak Ihsan entah untuk yang keberapa
kali.
“Maaf kak, aku nggak bisa. Sorry
kak. Emm,,, aku ada kuliah. Maaf yah kak.” Ujarku sambil berlalu membiarkan kak
Ihsan sendirian menatap punggungku yang berjalan gontai sambil mencari sosok
Rafidias. Aku mengelilingi petak demi petak kampusku, tapi tidak kutemukan
Rafidias disana. Entah kemana dia bersembunyi. Aku ingin meminta kejelasan
kepadanya dan lebih daripada itu, aku ingin bertemu dengannya karena aku
merindukannya.
Seminggu berlalu sejak Rafidias
memergokiku bersama dengan kak Ihsan di kantin. Sejak dia mengatakan hal yang
membuat hatiku terasa dicabik-cabik. Cabikan ini lebih sakit dari yang aku
rasakan saat kak Ihsan menyakitiku. Dan ternyata Rafidias pergi menjalankan
misinya bersama dengan teman-temannya naik gunung tangkuban perahu setelah
memergokiku waktu itu. Aku benar-benar merasakan hidupku hampa tanpa Rafidias
di sisiku. Aku berjalan namun tak tau arah kemana aku melangkah, aku belajar
tapi tak ada satu pun pelajaran yang masuk di otakku. Aku baru menyadari betapa
berartinya Rafidias untukku lebih dari sekedar cinta pertamaku atau siapapun.
Dan tanpa sadar, sebutir air mataku jatuh. Aku benar-benar merindukan lelaki
dingin yang selalu melindungiku dengan caranya sendiri itu. Aku rindu sosoknya
yang brutal, tak ingin di atur tapi sangat menghangatkan.
“Nih, sapu tangan. Jangan nangis
lagi.” Tiba-tiba suara seseorang mengagetkanku dan kulihat tangannya yang
sedang mengulurkan sapu tangan untukku. Aku sangat kenal tangan itu. Tangan
yang setiap hari selalu membelai dan mengacak lembut rambutku. Dan aku
merindukan tangan itu lebih dari apapun saat ini.
“Rafidias...” Aku hanya bisa
menyebut namanya saja dan kemudian menangis sejadi-jadinya sambil memukuli
tangannya yang masih memegang sapu tangan. “Kamu jahat...” Ujarku lagi sambil
terisak dihadapannya. Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutku. Dia hanya
diam melihat aku menangis dan memukuli tangannya tapi aku tau dia sedang
menatapku tajam. Sejurus kemudian, dia mencengkeram tanganku yang sedang sibuk
memukulinya lalu menariknya hingga aku berdiri dari tempat dudukku dan membawa
tubuhku ke dalam pelukannya. Pelukannya benar-benar hangat. Hanya dari
perlukannya, aku bisa merasakan betapa dia juga merindukanku. Dan rasa rindu
antara kami berdua meluap di dalam pelukan itu. Menghambur ke udara dan
kemudian bergabung bersama awan-awan yang seolah juga dapat merasakan luapan
perasaan kami.
“Kamu, ngapain kamu bilang kayak
gitu ? terus pergi gitu aja ? Kamu tau nggak gimana aku tanpa kamu.” Aku
berkata sambil menangis masih di dalam pelukan Rafidias.
“Bukankah dia cinta pertama kamu kan
? Aku hanya memberi kamu kesempatan buat berpikir dan kembali bersamanya jika
kamu bahagia meskipun sebenarnya aku bener-bener terluka saat itu. Aku selalu
liat kamu kalo kamu lagi bersamanya. Aku sok sibuk itu karena aku ingin
membebaskanmu memilih. Aku pikir, kamu lebih bahagia bersamanya Gisel.” Jawab
Rafidias masih memelukku erat. Perkataan Rafidias membuat aku merasa wanita
jahat. Apa yang salah denganku ? Seharusnya aku bersyukur karena memiliki
Rafidias. Dia tau aku sering bertemu dengan Kak Ihsan. Tapi dia tidak marah
justru dia malah mencoba menempatkan dirinya di posisiku dan berusaha untuk
mengerti perasaanku.
“Nggak.
Aku bahagia karena ada kamu yang ngelindungin aku. Jangan kayak gitu lagi rafi.
Kebahagiaan aku karena aku punya kamu yang terus disamping aku. Itu udah lebih
dari cukup Raf. ” Ujarku tulus dari lubuk hati yang paling dalam.
“Sstttt... seharusnya aku yang
bilang kayak gitu.” Ujar Rafidias singkat dan mengeratkan pelukannya kepadaku. Kata-kata
Rafidias mampu membuat aku yakin kalau sebenarnya dialah cinta yang kucari. Cinta
yang aku impikan selama ini. Yah, mungkin Rafidias bukan cinta pertama aku,
tapi aku yakin dia adalah cinta sejati aku. Cinta pertama itu mungkin adalah
sebuah kenangan yang sulit untuk dilupakan karena dia benar-benar berpengaruh
dalam perjalanan cinta kita, tapi bukan berarti saat kita bertemu dengan cinta
pertama kita lagi, justru kita melupakan cinta yang kita miliki sekarang.
Karena bisa jadi cinta kita yang sekarang itulah yang merupakan cinta sejati
kita.
- Tamat -
buat kamu, yang ada di hatiku saat ini, yang nggak tau ada satu wanita yang menyayangi kamu disini, yang aku kagumi dengan penuh ketulusan, dan yang aku cintai meski cintaku bertepuk sebelah tangan. special for you, V.D.N :)
dan aku juga terinspirasi menulis cerita ini dari sebuah lomba menulis tentang cinta pertama. hha.
happy reading yah guys. hha :D
gomawoo for read my story :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar