Pages

Rabu, 19 Juni 2013

My First Love vs My True Love (cerpen)




Aku memandangi lelaki yang sedang ada di hadapanku. Sosok lelaki yang sejak aku masuk kuliah hingga sekarang terus berada di sampingku. Lelaki yang selalu melindungiku dan menjagaku dengan penuh kasih sayang. Lelaki yang dingin namun perhatian, lelaki yang brutal tapi penyayang, lelaki yang tidak suka diatur dan sangat menghargai makhluk yang bernama wanita.
            “Hei, kenapa mandangin aku kayak gitu ? yah, aku tau kalo aku emang ganteng.” Ujar lelaki di hadapanku itu sambil tersenyum jahil yang bagiku senyum itu adalah senyum termanis yang pernah aku tau.
            “Nggak kok. Suka aja liat muka kamu. Lucu.. hhe.” Ujarku balas tersenyum jahil dengannya disambut dengan tangannya yang mengacak lembut rambutku.
            “Eh, aku ada kerjaan. Kamu tunggu sini yah. Jangan kemana-mana. Awas aja !!” Ujar lelaki itu mengancam sambil berbalik dan berjalan menjauhiku tanpa berkata mau kemana dia. Tapi inilah salah satu alasan kenapa aku sangat menyukainya. “Rafidias Abdul Rohman”, dialah lelaki yang mengancamku itu. Aku mengenalnya sejak awal masuk kuliah. Dia adalah kakak tingkatku di arsitektur ITB. Sejak awal P2K, sosoknya sangat menarik perhatianku. Entah karena apa aku tertarik padanya. Tapi karena rasa tertarik itulah saat ini aku merasa wanita yang beruntung karena memilikinya.
            “ emmm,, kamu Gisel kan ?” Tiba-tiba seseorang mengagetkan lamunanku. Aku sangat mengenal suaranya. Bukan, bukan suara Rafidias. Lalu, siapa pemilik suara ini ? Suara yang aku kenal hanyalah suara keluargaku, temanku, rafidias, dan satu orang dari kenangan masa laluku. Tidak.. apakah itu dia ? orang dari masa lalu itu ? Aku terus menduga-duga, tapi aku tidak berani untuk menatapnya.
            “Kamu masih inget kan suara kakak ?” Ujar orang itu lagi karena melihat aku yang hanya diam tertunduk.
Aku mengangkat wajahku dan benar saja kudapati sosoknya. Lelaki yang pernah mengisi hatiku. Dialah cinta pertamaku.
            “eh kak Ihsan , inget kok kak.” Ujarku dengan senyum yang  terpaksa.
            “Kamu sendirian aja ? Kakak boleh duduk sini ?” Ujar Kak Ihsan sambil menunjuk tempat yang ada di sebelahku. Ingin aku menjawabnya dengan kata tidak secara lantang tapi lidah ini sulit sekali untuk mengucapkan kata itu. Dan yang lebih menyakitkan aku hanya sanggup mengganggukkan kepala sambil mengulas senyum simpul.
            “Apa kabar kamu Gisel ? Kakak kangen banget sama kamu.” Ujar lelaki itu tanpa basa-basi. Aku teringat tentang bagaimana aku mencintainya dulu. Dan seketika itu juga jantungku terpacu untuk bergetar lebih cepat.
            “Baik kak. Kakak apa kabar ?” Tanyaku masih dengan detak jantung yang kencang dan tak menentu.
            “Baik juga Sel. Emm,, kakak tau kamu satu fakultas sama kakak  tapi kakak nggak punya keberanian buat nyapa kamu. Tapi tadi tiba-tiba aja kakak liat kamu disini dan kakak langsung ngampirin kamu.” Ujar kak Ihsan dengan tatapan mata yang masih sama seperti dulu. Tatapan mata yang teduh hangat dan.. membuat aku nyaman melihat pemiliknya. Percakapan kami berlangsung lama. Kami bercerita tentang masa-masa SMP dulu. Aku lupa bagaimana kak Ihsan dulu menyakiti hatiku dan yang lebih parah aku lupa kalau aku memiliki Rafidias sekarang yang entah kemana tadi dia pergi.
Sejak pertemuanku dengan kak Ihsan, aku sering sekali berkirim pesan dengannya tanpa diketahui Rafidias. Lagipula, Rafidias sibuk dengan kegiatan pencinta alamnya yang sedang melakukan persiapan untuk mengalahkan gunung tangkuban perahu. Bahkan, aku sering sengaja bertemu dengan kak Ihsan hanya sekedar untuk makan saja. Aku tak yakin aku masih mencintainya, tapi aku juga tak tau kenapa aku terus mengharapkan dia berada di dekatku. Aku teringat lagi masa-masa SMP dulu saat aku mencintai Kak Ihsan, dan itu adalah cinta yang pertama aku alami. Memori otakku berputar mundur mengingat masa itu.
            “ Mel, siapa sih kakak tingkat itu ? manis banget. “ Ujarku saat pertama kali aku memijakkan kaki di kelas baruku VII.7.
            “Oh, itu kakak tingkat kita Sel. Dia itu anggota osis loh. Kenapa ? kamu suka yah ? Ujar Amel temanku dengan menatap jahil ke arahku. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepala. Yah, sejak saat itu aku yang masih ababil mulai mencari tau semua hal tentangnya. Dari nama panjangnya, kelasnya, hingga jabatannya di OSIS bahkan aku mencari tau kesukaannya. Sampai-sampai aku membuntutinya hanya untuk tau dimana rumahnya. Jika aku melihatnya, aku akan tersenyum salah tingkah tanpa berani menatapnya Aku juga sering mencuri pandang dengannya jika kami sedang berada dalam satu ruangan yang sama. Saking aku mencintainya, berada dalam jarak beberapa meter dengannya mampu membuat kerja jantungku dua kali lebih cepat.
            Dan suatu ketika, dia pernah menyapaku dan tersenyum, rasanya saat itu aku seperti mendapatkan uang bermiliaran rupiah saking bahagianya. Dan sejak dia menyapaku, aku mulai dekat dengannya. Kami sering ngobrol bareng di kantin, bahkan kami sering berteleponan. Saat itu, aku benar-benar merasa cintaku akan terbalas. Namun ternyata kenyataan tidak sejalan dengan apa yang aku pikirkan. Kak Ihsan meneleponku pada suatu siang.
            “Gisel, lagi ngapain ?” Tanya kak Ihsan dari sambungan telepon.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan kak Ihsan. “Lagi nonton kak. Kenapa kak ?” Tanyaku pada kak Ihsan berusaha menahan senyum bahagia yang jelas sangat terpancar di wajahku.
            “Kakak mau minta maaf sama kamu Sel.” Ujar Kak Ihsan dengan nada menyesal. Aku heran, bingung. Memangnya kak Ihsan berbuat apa padaku ?           “Maaf kenapa kak ? Aku nggak ngerti kak.” Ujarku pada Kak Ihsan dengan nada bicara bingung.
            “Kakak udah jadian sama Dwi.” Ujar suara itu dengan nada menyesal yang aku tau nada menyesal itu sangat tulus. Aku terenyuh mendengar perkataan kak Ihsan barusan. Hatiku seperti tercabik-cabik entah menjadi berapa bagian. Tapi aku mencoba bertahan. Aku mencoba menutupi kesedihanku.
            “Wah, selamat yah kak.” Ucapku dengan nada bahagia yang sangat jelas sekali dibuat-buat. “udah dulu yah kak, mau bantuin ibu dulu.” Setelah itu aku langsung memutuskan sambungan telepon dan berlari ke kamar. Di dalam kamar,  tembok kekuatanku mulai rapuh dan kemudin hancur. Aku menagis tak tau harus berbuat apa. Aku marah, kesal tapi aku tidak punya hak untuk itu. Aku sakit hati, aku kecewa tapi aku juga tidak punya hak untuk menghalangi kebahagiaan Kak Ihsan, orang yang aku cintai. Karena kedekatan kami tidak memiliki status. Dia bukan pacarku dan tidak salah jika dia sekarang berpacaran dengan wanita lain bukan ? Sejak kejadian itu, aku mulai malas datang ke sekolah. Aku tidak siap melihat mereka tersenyum bersama. Sampai aku tersadar, jika aku terus begini akan membuat prestasiku menurun dan sungguh kasiannya kedua orangtuaku yang bekerja siang malam untuk menyekolahkanku sedangkan aku sibuk dengan perasaan sakit hati yang sama sekali tidak berhak untuk menghalangi prestasiku. Sejak tersadar itu, aku mulai move on. Aku kembali menjadi gadis yang ceria dan penuh energi, tapi aku masih tetap tidak ingin melihat apalagi menegur kak Ihsan. Aku mulai membenci kak Ihsan, kurasa.
            Saat kak Ihsan akan lulus, aku juga masih bersikap sama dengannya. Tak ingin melihatnya dan sengaja menghindar jika terpaksa harus bertatapan dengannya. Kak Ihsan sering mengejarku, berteriak memanggilku, atau menatapku dengan penuh harap aku mau memandangnya dan berbicara dengannya. Hingga kak Ihsan tamat  SMP, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi sampai di kuliah ini, saat dia tiba-tiba menyapaku dan datang kembali mengisi kehidupanku.

Setiap pagi aku senang sekali menghirup udara pagi di bawah pohon rindang di depan gedung jurusanku. Biasanya, setiap pagi Rafidias akan datang menghampiriku sambil menatapku dengan tatapan hangat. Tapi belakangan ini, dia tidak pernah menghampiriku lagi. Dia hanya meneleponku sesekali sambil menanyakan kabarku. Katanya dia sedang sibuk persiapan untuk naik ke gunung tangkuban perahu.  Tapi aku tidak merasa kesepian tanpanya karena setiap aku kesepian kak Ihsan akan datang menemaniku. Tiba-tiba nada dering panggilan telepon di handphoneku berbunyi. Ku lihat nama penelepon itu dan ternyata kak Ihsan. Aku langsung mengangkat telepon.
            “Hallo, gisel. Nanti siang kita makan bareng yah. Ada yang mau kakak omongin sama kamu.” Ujar kak Ihsan dengan nada bicara yang membuat hati nyaman mendengarnya.
            “Oh, iya kak. Kita ketemuan di kantin biasa kita makan aja yah kak.” Jawabku mengiyakan ajakan kak Ihsan.
“Baiklah, sampai jumpa nanti siang Gisel.” Ujar kak Ihsan dari telepon kemudian terdengar nada sambungan terputus dari speaker hapeku.
JJJJJ
            Aku berjalan keluar dari kelas dengan langkah cepat menuju kantin tempat aku dan kak Ihsan sering makan bersama. Aku yakin kak Ihsan sudah menungguku. Sesampainya di kantin, benar saja. Kak Ihsan sudah duduk manis di salah satu bangku di kantin itu sambil menyeruput es jeruk. Aku pun menghampiri kak Ihsan.
            “Kak,, maaf yah telat. Maklum. Dosennya lagi seneng ngejelasin. Jadinya lama deh kak. Hehehhehe...” Ujarku meminta maaf kepada kak Ihsan.
            “Ah, udah nggak apa-apa kok. Kakak aja kali yang kecepatan. Hha.” Ujar Kak Ihsan dibarengi dengan tawanya yang memepesona.
            “Ngomong-ngomong, kakak mau bicarain apa yah kak ?” Tanyaku pada kak Ihsan setelah aku memesan minuman kepada pelayan kantin itu.
            “emmm, masalah SMP dulu kakak minta maaf Sel.” Ujar kak Ihsan sambil menatapku, dalam. Aku terperanjat. Ternyata kak Ihsan masih merasa bersalah denganku. Padahal aku sudah lupa rasa sakitnya saat itu karena saking sakitnya.          “Udah kak, aku udah lupa kok kak. Santai aja kak.” Jawabku sambil tersenyum tulus. Aku tak ingin kak Ihsan dihantui rasa bersalah.
            “Kalau begitu, boleh kakak memperbaiki semuanya ? Kakak mau memulai dari awal lagi sama kamu Gisel.” Ujar kak Ihsan masih menatapku dalam dan tulus. Aku terkejut. Apa yang di maksud Kak Ihsan ?
            “Kakak mau memulai semuanya lagi Sel. Kakak ingin melindungimu. Boleh ?” Ujar Kak Ihsan padaku. Seharusnya aku senang karena cinta pertamaku datang kembali padaku dan mengatakan dia akan melindungiku. Tapi hal itu tidak terjadi padaku. Tiba-tiba sosok lelaki jangkung yang dingin sudah ada di samping aku dan kak Ihsan. Aku terkejut. Rafidias. Aku baru bertemu dengannya sejak dia meninggalkanku sendiri waktu itu. Dan dia sekarang memergokiku sedang berduaan dengan kak Ihsan. Tidak...
            “Kamu mau dia melindungimu Gisel ? Kalau mau, kamu tinggal jawab aja boleh. Tak usah peduli dengan perasaan orang lain. Aku yakin, orang lain akan bahagia kalo liat kamu bahagia.” Ujar lelaki jangkung itu sambil tersenyum dan kemudian pergi meninggalkan aku dan kak Ihsan. Tidak... apa yang barusan dikatakannya ? Dia bahkan tidak mengakui jika dia adalah kekasihku. Bahkan dia seolah-olah datang menghampiriku hanya untuk menjadi penasehat cintaku. Dia terlihat sangat dingin dan yang lebih menyakitkan, tatapan matanya seolah tidak ada aku di sana. Apa yang terjadi dengannya ? Dia marah ? Pikiranku benar-benar kalut saat itu.
            “Gisel, kok diem ? bolehkah kakak ngelindungin kamu mulai sekarang ?” Tanya Kak Ihsan entah untuk yang keberapa kali.
            “Maaf kak, aku nggak bisa. Sorry kak. Emm,,, aku ada kuliah. Maaf yah kak.” Ujarku sambil berlalu membiarkan kak Ihsan sendirian menatap punggungku yang berjalan gontai sambil mencari sosok Rafidias. Aku mengelilingi petak demi petak kampusku, tapi tidak kutemukan Rafidias disana. Entah kemana dia bersembunyi. Aku ingin meminta kejelasan kepadanya dan lebih daripada itu, aku ingin bertemu dengannya karena aku merindukannya.

            Seminggu berlalu sejak Rafidias memergokiku bersama dengan kak Ihsan di kantin. Sejak dia mengatakan hal yang membuat hatiku terasa dicabik-cabik. Cabikan ini lebih sakit dari yang aku rasakan saat kak Ihsan menyakitiku. Dan ternyata Rafidias pergi menjalankan misinya bersama dengan teman-temannya naik gunung tangkuban perahu setelah memergokiku waktu itu. Aku benar-benar merasakan hidupku hampa tanpa Rafidias di sisiku. Aku berjalan namun tak tau arah kemana aku melangkah, aku belajar tapi tak ada satu pun pelajaran yang masuk di otakku. Aku baru menyadari betapa berartinya Rafidias untukku lebih dari sekedar cinta pertamaku atau siapapun. Dan tanpa sadar, sebutir air mataku jatuh. Aku benar-benar merindukan lelaki dingin yang selalu melindungiku dengan caranya sendiri itu. Aku rindu sosoknya yang brutal, tak ingin di atur tapi sangat menghangatkan.
            “Nih, sapu tangan. Jangan nangis lagi.” Tiba-tiba suara seseorang mengagetkanku dan kulihat tangannya yang sedang mengulurkan sapu tangan untukku. Aku sangat kenal tangan itu. Tangan yang setiap hari selalu membelai dan mengacak lembut rambutku. Dan aku merindukan tangan itu lebih dari apapun saat ini.
            “Rafidias...” Aku hanya bisa menyebut namanya saja dan kemudian menangis sejadi-jadinya sambil memukuli tangannya yang masih memegang sapu tangan. “Kamu jahat...” Ujarku lagi sambil terisak dihadapannya. Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutku. Dia hanya diam melihat aku menangis dan memukuli tangannya tapi aku tau dia sedang menatapku tajam. Sejurus kemudian, dia mencengkeram tanganku yang sedang sibuk memukulinya lalu menariknya hingga aku berdiri dari tempat dudukku dan membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Pelukannya benar-benar hangat. Hanya dari perlukannya, aku bisa merasakan betapa dia juga merindukanku. Dan rasa rindu antara kami berdua meluap di dalam pelukan itu. Menghambur ke udara dan kemudian bergabung bersama awan-awan yang seolah juga dapat merasakan luapan perasaan kami.
            “Kamu, ngapain kamu bilang kayak gitu ? terus pergi gitu aja ? Kamu tau nggak gimana aku tanpa kamu.” Aku berkata sambil menangis masih di dalam pelukan Rafidias.
            “Bukankah dia cinta pertama kamu kan ? Aku hanya memberi kamu kesempatan buat berpikir dan kembali bersamanya jika kamu bahagia meskipun sebenarnya aku bener-bener terluka saat itu. Aku selalu liat kamu kalo kamu lagi bersamanya. Aku sok sibuk itu karena aku ingin membebaskanmu memilih. Aku pikir, kamu lebih bahagia bersamanya Gisel.” Jawab Rafidias masih memelukku erat. Perkataan Rafidias membuat aku merasa wanita jahat. Apa yang salah denganku ? Seharusnya aku bersyukur karena memiliki Rafidias. Dia tau aku sering bertemu dengan Kak Ihsan. Tapi dia tidak marah justru dia malah mencoba menempatkan dirinya di posisiku dan berusaha untuk mengerti perasaanku.         
“Nggak. Aku bahagia karena ada kamu yang ngelindungin aku. Jangan kayak gitu lagi rafi. Kebahagiaan aku karena aku punya kamu yang terus disamping aku. Itu udah lebih dari cukup Raf. ” Ujarku tulus dari lubuk hati yang paling dalam.
            “Sstttt... seharusnya aku yang bilang kayak gitu.” Ujar Rafidias singkat dan mengeratkan pelukannya kepadaku. Kata-kata Rafidias mampu membuat aku yakin kalau sebenarnya dialah cinta yang kucari. Cinta yang aku impikan selama ini. Yah, mungkin Rafidias bukan cinta pertama aku, tapi aku yakin dia adalah cinta sejati aku. Cinta pertama itu mungkin adalah sebuah kenangan yang sulit untuk dilupakan karena dia benar-benar berpengaruh dalam perjalanan cinta kita, tapi bukan berarti saat kita bertemu dengan cinta pertama kita lagi, justru kita melupakan cinta yang kita miliki sekarang. Karena bisa jadi cinta kita yang sekarang itulah yang merupakan cinta sejati kita.
- Tamat -

 Aku terinspirasi membuat kisah ini karena seseorang dan aku persembahkan ini untuk seseorang. 

buat kamu, yang ada di hatiku saat ini, yang nggak tau ada satu wanita yang menyayangi kamu disini, yang aku kagumi dengan penuh ketulusan, dan yang aku cintai meski cintaku bertepuk sebelah tangan. special for you, V.D.N :) 

dan aku juga terinspirasi menulis cerita ini dari sebuah lomba menulis tentang cinta pertama. hha. 

happy reading yah guys. hha :D 
gomawoo for read my story  :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blog Template by BloggerCandy.com